ANAKKU JADILAH ULAMA
1.
SULTAN
ISKANDAR MUDA
Kelahiran Yang Sulit.
Azan subuh baru
saja selesai berkumandang. Menandakan kehidupan pagi akan dimulai. Pak Udin
bergegas turun dari tempat tidurnya. Dilihatnya Bu Munah istrinya sudah
mengenakan mukena tanda segera melaksanakan shalat. Perutnya yang buncit karena
hamil tua sangat kentara menyembul dari balik mukena yang dipakainya. Nampak
raut kuyu di wajahnya. Namun semangat untuk beribadah tidak membuatnya lemah
dalam melaksanakan shalat subuh. “Kembanglah sajadah agar kita berjamaah”, kata
Pak Udin ringan pada istrinya, “Anak-anak sudah bangun, dik?”
“Udah, bang mereka
shalat di kamarnya.”
“Ya, udah lah”
Pak Udin segera ke sumur
untuk berwuduk. Dan mereka shalat subuh berjamaah.#
Masih memakai mukena Bu
Munah membaringkan badannya yang lemah di tempat tidur. Matanya dipejamkan
sambil mulutnya komat- kamit membacakan dzikir sesudah shalat. Tiba-tiba
perutnya merasa sakit.”Aduh bang, perutku sakit!” keluhnya,”Mungkin udah mau
lahir.”
Pak Udin terkesiap dan segera berdiri
mengakhiri doanya. Segera ia menghampri istrinya. Dengan wajah kahwatir Pak Udin
menyapa istrinya, “Kenapa dik? Sakit sekali?”
Bu Munah menggeliat memegang perutnya yang
besar menahankan sakit. Dari bibirnya mengeluarkan suara nafas yang memburu karena kesakitan, “Aduh,
bang sakit sekali. Sepertinya aku sudah tak tahan! Aduh, baaang! Astaghfirullaaah..!”
Bu Munah istighfar sambil memegang perutnya.
Melihat gelagat
yang menghawatirkan itu Pak Udin menyambar pakaiannya di gantungan dan segera
membangunkan anak lelakinya dikamar sebelah. “Adi, cepat bangun! Panggil becak
Bang Duan segera! Ibu mu mau melahirkan!”
“Aku masih
ngantuk, Yah. Ani sajalah suruh.” Jawab Adi santai.
“Kau!!!! Bangun cepat!
Kau yang ayah suruh! Kupukul kau nanti! Tidak paham juga kau sebagai
anak laki-laki! Cepat keluar dan panggil becak Bang Duan! Kurang ajar kau!” Pak
Udin marah besar pada anak laki-laki satu-satunya itu. Suaranya yang keras
membangunkan semua anak-anaknya.
“Ada apa yah?”Suara
Ani dari kamarnya. Sementara Dina adiknya yang berusia 3 tahun
masih tertidur.
“Ini, ibumu mau
melahirkan. Ayah suruh Adi memanggil becak Bang Duan, dia tidak mau pula. Kurang
ajar!”
Ani keluar kamar
dan menghampiri ibunya. Gadis kecil 11 tahunan itupun memegang ibunya dengan penuh kasih
sayang. Sebagai anak tertua Ani menunjukkan kedewasaannya. “Pigilah cepat, dik!
Ibu kita mau melahirkan. Kita akan dapat adik baru.” Pujuk Ani pada adiknya Adi
yang masih berusia 9 tahun.
Dengan wajah agak
“gondok” karena kesal tidurnya terganggu, Adi keluar dari kamarnya. Dengan
menaiki sepeda, Adi menuju rumah Bang Duan untuk memesan becaknya. Jalanan desa
yang masih sepi ditembusnya dengan kencang. Sebelum memasuki jalan utama, sesekali
Adi terjatuh dari sepedanya karena jalanan yang licin.#
Jalanan di depan
Puskesmas masih sepi. Embun pagi membasahi rerumputan halaman Puskesmas Suka Sari. Pintu pagar masih terkunci. Dua pohon asam jawa di
kiri-kanan pintu pagar itu berdiri kokoh seperti 2 raksasa yang berdiri perkasa
untuk menyambut Pak Udin dan Bu Munah yang mau melahirkan. Segera saja Bang
Duan turun dari becaknya menuju pintu pagar untuk dibuka. Setelah pintu pagar
terbuka maka Bang Duan mendayung kembali becaknya membawa masuk ke Puskesmas,
Pak Udin dan istrinya yang mau melahirkan.
“Cepat, bang!” Suara
Bu, Munah mengeluh.
“Iya...,iya..! Sebentar
biar abang panggil Bidan Sri,” jawab Pak Udin segera.
Bang Duan
memberhentikan becaknya tepat di pintu rumah dinas Bidan Sri-masih di dalam
Puskesmas Suka Sari. Pak Udin segera melompat menuju pintu.“Bu Sri! Bu Sri,
tolonglah! Istri saya mau melahirkan,” tanpa mengucap Assalamu’alaikum terlebih
dahulu suara Pak Udin memecah kesunyian pagi yang masih gelap itu,”Tolong lah, Bu.
Istri saya sudah kesakitan!”
Dari dalam ruangan
terdengar langkah kaki tergesa-gesa menuju pintu. Tanpa menunggu begitu lama
pintupun terbuka. Bu Sri muncul dari dalam dengan wajah tegang. “Ayo, kita bawa
ke ruang Puskesmas saja.”Ajak Bu Sri sambil berjalan cepat kearah Puskesmas dan
segera membuka pintu utama Puskesmas.
Tanpa dikomando
Bang Duan segera mendorong becaknya mengikuti Bu Sri ke ruang Puskesmas, diikuti
Pak Udin menyusul Bu Sri. Sementara Bu Munah terus meringis diatas becak.
Dengan bantuan Bu
Sri dan Pak Udin, Bu Munah di papah keruang melahirkan.#
Sudah hampir 4 jam
Bu Munah berada di ruang bersalin. Tetapi beliau belum juga melahirkan. Bidan
Sri telah mengambil langkah-langkah medis untuk membantu Bu Munah agar segera
melahirkan. Sementara itu Pak Udin terlihat gelisah menunggu di luar ruangan.
Terkadang beliau berdiri dan berjalan mondar-mandir. Setiap kali Bu Sri keluar
ruangan, spontan saja Pak Udin menghampirinya. “Bagaimana Bu? Apakah sudah
lahir?” Tanya Pak Udin gugup.
“Tenang saja Pak.
Kita tunggu dokter datang, ya!” kata Bu Sri menenangkan, “Mungkin anak Bapak
menunggu lahirnya, ditangan dokter”
“Baiklah bu.” Pak Udin menghela nafas. Tampak kegelisahan
yang besar tergambar pada wajahnya. Walaupun begitu sebagai seorang muslim Pak
Udin tetap berdoa dan yakin akan
kebesaran Allah dalam hal memelihara hamba-hamba Nya. Apa lagi saat ini beliau
sedang gelisah menunggu kelahiran anaknya yang ke-5. Sejak pukul 06.00 pagi
tadi, sampai pukul 10.00 pagi ini, Bu Munah-istrinya masih belum juga
melahirkan. Sesekali Pak Udin menengadahkan wajahnya ke langit sebagai tanda
mengharap uluran tangan Allah untuk melancarkan kelahiran anaknya.#
Di dalam ruang
bersalin Bu Munah selalu menggeliat dan mengeluh sakit pada perutnya.
Pikirannya menerawang pada saat-saat awal kehamilannya.
MEMBUNUH ULAR
Waktu itu
menjelang maghrib - malam Jumat Keliwon.
Bu Munah pulang dari ladang yang tak jauh dari rumahnya. Tiba-tiba seekor ular
hitam menghempang jalannya. Ular itu mengangkat kepalanya dan selalu
menjulurkan lidahnya. Ular itu melihat kearah Bu Munah. Setiap kali Bu Munah
menghindar, ular itupun mengikutinya, mengarahkan pandangannya pada Bu Munah. Bu
Munah sangat ketakutan.
Hari mulai gelap. Tak seorangpun yang lewat
dijalan perladangan itu. Tidak ada orang untuk dimintai pertolongan. Tiba-tiba
ular itu mengejarnya. Bu Munah menghindar naik ke atas tanah gundukan yang agak
tinggi. Ular itu terus mengawasinya. Dengan ketakutan Bu Munah mengambil kayu
panjang yang ada didekat gundukan tanah tinggi itu dan memukul ular itu. Tak disangka ternyata ular itu mampu
menghindar mundur. Melihat ular itu mundur, Bu Munah turun melompat dari tanah
tinggi itu dan berlari menjauhi ular itu. Tiba-tiba ular itu berbalik dan
memburu Bu Munah. Dengan reflex Bu Munah mengarahkan pukulannya kepada ular
itu. Tepat mengenai kepala ular itu. Melihat ular itu tak berdaya, Bu Munah
terus memukuli ular itu sampai yakin
mati. Tanpa ampun ular itupun mati dengan kepala yang pecah.
Dengan
nafas tersengal Bu Munah meninggalkan perladangan itu, meninggalkan ular hitam
itu mati tak bergerak.#
Sementara itu Pak
Udin terlihat gelisah menunggu istrinya yang belum pulang dari ladang.
“Adi, susul dulu
ibumu di ladang. Sudah hampir maghrib begini, kok belum pulang?” Suruh Pak Udin pada anaknya.
“Sama dik Dina, lah!”
jawab Adi
“Ya, sudahlah.
Cepat sana!” bentak Pak Udin pada anaknya.
Mereka berjalan
menyusuri jalan kecil menuju ladang. Ditengah jalan mereka berpapasan dengan
ibunya yang sudah menuju pulang.
Sesampainya di
rumah Bu Munah menceritakan kejadian di ladang. Pak Udin menanggapinya dengan
biasa saja.
Ular bukanlah
binatang aneh bagi penduduk desa Suka Sari. Daerah yang masih asri oleh
panorama hutan, tidak mengherankan jika selalu bertemu ular. Tetapi menurut
kepercayaan orang-orang tua dulu, akan menjadi aneh jika ada wanita hamil yang
di hadang ular, apalagi ular itu dibunuhnya.
Entah siapa yang
menceritakan, tiba-tiba Bu Murni datang bertamu. “ Katanya Bu Munah tadi
membunuh ular di ladang?’ Tanyanya
dengan wajah khawatir.
“Memangnya
kenapa,bu? Karena saya dihadang oleh ular itu. Jadi saya membunuhnya.” Jawab Bu Manah dengan tenang.
“Aduh, bu! Gimana
sih. Ibukan lagi hamil. Pantang sekali membunuh binatang. Nanti ada apa-apanya
pada bayi ibu”
“ Bagaimana ini,
bang?” Tanya Bu Munah pada suaminya.
“Ya sudahlah.
Sudah kejadian. Mudah-mudahan tidak apa-apa.”
Sela Pak Udin.
“Mesti disyarati,
lo Pak,” Bu Murni khawatir, “ Biar tidak terjadi yang tidak
diinginkan.”
“Bagaimana bang?” Sekali lagi Bu Munah bertanya pada suaminya
dengan wajah khawatir.
“Sudahlah, berdoa
saja kepada Allah.” Ucap Pak Udin
mencoba menenangkan hati istrinya yang gundah terpengaruh dengan kata-kata Bu
Murni.
Merasa tidak
ditanggapi dengan serius akhirnya Bu Murni permisi pulang. Bersamaan dengan itu
azan maghribpun bergema keangkasa menutup hari itu, menyambut bersemayamnya
malam Jumat Keliwon.#
Malam itu terasa
gerah. Bu Munah tidak bisa tidur memikirkan kata-kata Bu Murni tetangga
dekatnya. Kekhawatiran akan dampak membunuh ular pada jabang bayinya,
menghantui pikirannya.
Sementara itu Pak
Udin sibuk dengan parang bengkoknya dan sepedanya. Parang yang setia
menemaninya bekerja di kebon sawit milik PTPN- Delima , sebagai buruh harian
lepas, 3 Km dari Desa Suka Sari. Sebelum tidur seperti biasa Pak Udin
mempersiapkan peralatan kerjanya esok pagi.
“Sudah larut,Bang!
Ayo lah tidur.” Tiba-tiba Bu Munah menegur suaminya.
“Belum tidur
juga?” Tanya Pak Udin dengan datar, “
Cakap Bu Murni tadi jangan dipikirkan. Serahkan saja pada Allah.” Pak Udin menenangkan istrinya. Namun tampak
raut gundah dalam wajahnya.#
Udara gerah malam
itu ternyata pertanda akan hujan turun. Di luar rumah angin mulai bertiup
kencang. Gemeretak pohon bambu tak jauh dari
rumah Pak Udin menimbulkan suara gaduh. Gesekan dedaunan , berisik
menambah ributnya suasana alam. Sesekali mulai terdengar suara guruh dilangit
tinggi. Lolongan anjing malam menghiasi simpony malam itu, terdengar dari
kedalaman hutan. Sesosok bayangan hitam berkelebat diantara pepohonan rimbun
dan hinggap di atas rumah Pak Udin.
Terdengar suara
“DUK!” Di atas bubungan rumah Pak Udin.
“Suara apa itu,
Bang?” Tanya Bu Munah penasaran.
“Enggak tahu, dik.
Paling suara burung hantu hinggap.” Jelas Pak Udin datar.
“Aku takut, Bang.”
“GLEDTAARR!!!!!”
Tiba-tiba suara
petir memekakkan.
“Ayah!!!” Serentak,
jerit anak-anak Pak Udin. Mereka keluar kamar, berlari ke kamar Pak Udin yang
sudah berbaring bersama istrinya. Mereka memeluk ibunya.
“Tak usah takut.
Itu hanya suara petir. Sepertinya malam ini akan hujan lebat,” Pak Udin
menenangkan keluarganya, “Ya, sudah kalian tidur saja di lantai- kembang tikar,
sana!”
Tidak begitu lama
kemudian hujan lebatpun turun. Air seperti dicurahkan ke bumi. Angin berhembus
meliuk-liukkan pepohonan. Sesekali suara petir, memekakkan telinga mengiringi
tiupan angin kencang dan hujan yang begitu lebat.
Mereka akhirnya tertidur diiringi suara hujan
yang lebat di luar rumah, membasahi bumi Mekar Sari – malam Jumat Keliwon.
Sementara di atas
bubungan rumah Pak Udin, sepasang mata liar mengawasi sekitarnya dengan
seksama. Kemudian berkelebat masuk kedalam kegelapan hutan yang sunyi.#
Seperti biasanya sehabis
shalat subuh Bu Munah memasak untuk sarapan keluarganya. Udara dingin masih
menyelimuti desa Suka Sari yang diguyur hujan lebat malam tadi.
Walau masih agak gelap, Bu
Munah pergi kebelakang rumah untuk mengambil air yang harus di masak untuk
minum. Air yang biasanya ada di dapur kebetulan sudah habis. Biasanya Adi lah
yang ditugasi untuk mengisi air di dapur untuk keperluan masak pagi hari. Tapi
kali ini air terlihat kosong, hingga Bu Munah mengambil sendiri air kebelakang
rumah.
Suara gesekan tali dikatrol, melengking
mengangkat timba berisi air dari dalam sumur. Gemericik air terdengar
berjatuhan dari timba ke dalam sumur karena kepenuhan. Bu Munah menumpahkan air
ke dalam tong kecil, kemudian setelah cukup , akan dibawa kedapur untuk
keperluan memasak.
Dengan sedikit keberatan, air dalam tong
tersebut ditin-ting Bu Munah menuju dapur. Ketika air tersebut dicedok dengan gayung
untuk dimasak, tiba-tiba Bu Munah dikejutkan dengan munculnya kepala ular hitam
dari dalam tong berisi air tersebut. Bu Munah berteriak terkejut, “ULAAAARRRR,”
jerit Bu Munah sambil melompat kesamping.
Tapi anehnya jeritan Bu Munah tidak terdengar oleh Pak Udin.
Ular itu keluar dari tong air dan mengarahkan pandangannya pada Bu
Munah yang terjebak di sudut dapur-tidak bisa menghindari ular yang tepat
berada di depannya. Lidah ular yang bercabang dua tersebut selalu menjulur
kedepan. Bu Munah menjerit-jerit minta tolong,”Toooloooonggg! Ada Ularrrrr!”
Suara Bu Munah ketakutan.
Suara Bu Munah
melengking.Tapi suara itu hanya terdengar olehnya.
Ular itu perlahan mendekati
Bu Munah yang sudah tidak bisa bergerak menghindar karena tersudut di ujung
dapur. Kakinya yang mulai bengkak karena hamil, dijinjitkannya.
Ular itu kini semakin dekat
di kakinya dan siap untuk menancapkan gigi-gigi tajamnya ke kaki Bu Munah. Bu
Munah terus minta tolong, tapi suaranya tak seorangpun yang mendengar.
Ular itu semakin dekat dan
kini telah mengangkat tinggi-tinggi kepalanya. Kemudian menukik cepat mematuk
betis Bu Munah. Pada saat-saat kritis tersebut.
“Dik…Dik….! Bangun! Kenapa ?
Ada apa?” Suara Pak Udin menyadarkan istrinya, “Ada apa,Dik? Adik mengigau.”
“Astaghfirullah ! Bang aku bermimpi didatangi
ular yang kubunuh sore tadi.” Bu Munah memeluk suaminya,” Bang, aku takut.
Jangan-jangan ular yang kubunuh itu bukan ular sembarangan, seperti kata Bu Murni.”
“Ya, sudahlah nanti kita tanyakan pada Pak Ustadz,” ujar Pak Udin menenangkan istrinya, “Sekarang
tidurlah lagi.”
Bu Munah berusaha
untuk tidur lagi.Tapi bayangan ular dalam mimpinya datang terus menghantuinya.
Dipandanginya anaknya yang tidur pulas di samping bawah tempat tidurnya
beralaskan tikar karena takut suara petir malam tadi. Dipeluknya suaminya untuk
menenangkan hatinya.#
Dari kejauhan terdengar
kokok ayam jantan menandakan pagi segera datang. Meninggalkan malam yang begitu
mencekam baginya. Tidak berapa lama kemudian terdengar suara ngaji dari Mesjid
Al-Huda desa Suka Sari, pertanda subuh segera bertahta mengingatkan manusia
untuk beribadah pada Allah yang Kuasa.
Pagi hari itu -
pagi-pagi sekali Bu Murni sudah datang ke rumah Bu Munah. Dengan membawa
cangkul dan sebungkus bunga rampai, Bu Murni mengajak Bu Munah untuk menyarati
pembunuhan ular semalam sore. Sebagai tenggang rasa Bu Munah mengikuti saja
keinginan Bu Murni. Mereka menuju lading, setelah Bu Munah melepas kepergian
suaminya bekerja.
Sesampainya di
ladang betapa terkejutnya Bu Munah. Ular yang dibunuhnya sore semalam, sudah
tidak ada di tempat. “Semalam sepertinya di sini,Bu,” kata Bu Munah pada Bu
Murni.
“Nah, ini pasti
bukan ular sembarangan.” Bu Murni menimpali.
“Jadi bagaimana, Bu”
“Seharusnya,
kalaupun itu ular biasa, harus kita kuburkan. Tapi ular itu menghilang.
Mudah-mudahan tidak apa-apa,Bu. Mudah-mudahan ular itu hilang karena dimakan
binatang lain. Tapi tetap saja, Ibu sudah melanggar pantangan.” Bu Murni
menerangkan.
Dengan wajah penuh
khawatir merekapun pulang menuju rumah.#
Hari Minggu adalah
hari libur bagi Pak Udin dari pekerjaannya dikebun sawit PTPN. Delima. Begitu
juga bagi semua orang. Semua libur dari rutintas harian mereka. Baik anak
sekolah, guru, buruh dan pekerja kantor.
Kesempatan hari itu
dipergunakan Pak Udin dan istrinya Bu Munah untuk bersilaturahim ke rumah
Ustadz Hasan. Kejadian 3 hari yang lalu
masih mengganggu pikiran istrinya. Pembunuhan ular di ladang, diikuti sesuatu
yang bertengger di bubungan rumah mereka saat hujan lebat pada malam hari itu,
dan mimpi buruk yang dialami Bu Munah, juga bangkai ular yang raib pagi
harinya, menjadi alasan Pak Udin untuk berkonsultasi pada Ustadz Hasan pagi
itu.
“Assalamu’alaikum.” Kata Pak Udin di pintu
rumah Ustadz Hasan.
“Wa’alaikumussalam,”
suara Ustadz Hasan membalas dari dalam rumah,” Oh, Pak Udin. Mari silahkan masuk
Pak, Bu!. Waah.., pagi-pagi begini sudah kedatangan tamu istimewa, ni. Apa
kabar, Pak, Bu?”
“Kabar baik,
Ustadz” Pak Udin menjabat tangan Ustadz Hasan dengan kuat.
“Mari Pak, Bu. Silahkan duduk,”sambut hangat Ustadz Hasan,”
Mi…tolong buatin minum, ya. Ada tamu istimewa, ni. Pak Udin dan Bu Munah.”
Suruh Ustadz Hasan pada istrinya Zubaidah.
Tanpa berpanjang kalam, Pak Udin langsung mengutarakan
maksudnya, ”Begini, Ustadz. Ada yang ingin kami tanyakan.”
“Oh…ia. Silahkan
Pak. Nampaknya serius sekali ini,” seloroh Ustadz Hasan ramah.
“ Ini istri saya.
Tiga hari yang lalu, Kamis kemarin, dia pulang dari ladang. Tiba-tiba dihadang ular. Istri
saya ini sudah menghindarinya. Tapi ular itu mengejarnya.
Ya, akhirnya dibunuh istri saya ini,” jelas Pak Udin,”Kemudian datang
Bu Murni bilang, orang hamil pantang membunuh binatang. Apa lagi ular. Bisa
jadi ular itu adalah jin. Malamnya hujan turun lebat sekali Ustadz. Sepertinya
ada sesuatu pula yang hinggap di atas atap rumah kami. Istri dan anak-anak saya
ketakutan. Apa lagi malam itu kan malam
Jumat Keliwon. Ee..eee…waktu tidur,
ternyata istri saya pun mimpi buruk didatangi ular itu. Pagi harinya lagi
Ustadz, bersama istri saya Bu Murni ingin mengubur ular itu.Tapi ular itu raib.
Nah, ini bagaimana Ustadz?” Pak Udin bercerita panjang.
Ustadz Hasan
mendengarkan cerita Pak Udin dengan sabar. Sesekali terlihat senyum kecil
dibibirnya. Kadang matanya melirik Bu Munah yang duduk dengan wajah khawatir.
Belum sempat Ustadz Hasan berbicara, tiba-tiba
istrinya Bu Zubaidah datang dengan membawa minuman dan langsung menghidangkannya.
“Silahkan Pak, Bu,” sapa Bu Zubaidah ramah, “ O…iya sebentar ya, bu. Saya ada
gorengan di dapur. Ya…makanan ringan la.” Bu Zubaidah kembali kedapur, kemudian
kembali lagi dengan membawa pisang goreng. Setelah dihidangkan Bu Zubaidah
menyalami Bu Munah sambil duduk di dekatnya
“ Aduh Bu merepotkan, ya? ” Sapa Bu Munah
dengan ramah.
“ Ah..,tidak apa-apa Bu,” jawab Bu Zubaidah
sambil tersenyum.
“Oh…jadi begitu ceritanya, Pak Udin.” Ujar Ustadz
Hasan kepada Pak Udin.
“Iya, Ustadz. Kami
perlu nasihat dari Ustadz.” Bu Munah menimpalinya.
“Tapi, disambillah minum dan makan pisang
goreng ala kadarnya dulu,” kata Ustadz Hasan mengalihkan pembicaraan.
“Oh.., iya Pak.” Jawab Pak Udin sambil menikmati hidangan di atas
meja.
“Begini,” Ustadz Hasan mulai
memberi jawaban,” Nabi Muhammad Saw. memang ada berbicara soal ular dan wanita
hamil. UQTULUL HAYAATI WADZATTUF YATAINI WAL ABTARO FA INNAHUMAA
YASTASQITHOONIL HABALA WAYALTAMISAANIL BASHORO . Artinya, bunuhlah semua ular
terutama ular bergaris dua putih di pungungnya dan yang putus ekornya, karena
keduanya dapat menggugurkan kandungan wanita hamil dan membutakan mata, riwayat
Muslim. Hadist ini menyuruh kita membunuh semua
ular. Tapi bukan berarti kita harus menjadi pemburu ular untuk di
bunuhi. Ular yang mengancam kita sajalah yang boleh dibunuh. Jadi, Bu Munah,”
lanjut Ustadz Hasan,” Wanita hamil boleh membunuh semua ular kalau ketemu.
Tindakan Bu Munah sudah sesuai dengan hadits Rasul tadi. Sementara adat atau
tradisi nenek moyang melarangnya dengan ancaman bisa membuat bayi cacat. Nah,
inikan bertentangan. Syariat menyuruh bunuh, adat melarangnya. Sekarang terpulanglah
kepada iman kita. Seharusnya, kita tidak lagi mempercayai tradisi sesudah kita
beriman pada Allah dan Rasulnya.” Jelas Ustadz Hasan.
“Jadi, tidak apa-apa Ustadz?” Bu Munah berkata dengan semangat.
“Tidak apa-apa.Tenangkan saja
pikiran Bu Munah. Orang hamil pikirannya mesti tenang. Karena pikiran Bu Munah
tidak tenang, itulah yang nanti bisa membuat jabang bayinya tidak sehat. Bu
Munahpun jadi tidak sehat. Bukan karena
membunuh ular. Tapi, karena pikiran tidak tenanglah yang menyebabkan Bu Munah
dan bayinya bisa tidak sehat,” jelas Ustadz Hasan,” Jadi tenangkan pikirannya,
ya.”
“Iya bu, Cakap orang jangan
cepat percaya. Tapi cakap Rasul harus cepat dipercaya.” Kata Bu Zubaidah sambil
memegang tangan Bu Munah.
“Bagaiman,Bu perasaannya?”
Sapa dr. Herman sambil memegang tangan Bu Munah hingga menyadarkannya dari
lamunannya.
“Ehhh.., hmm…, masih terasa sakit, Dokter.”
Bu Munah kembali memegangi perutnya.#
Dr. Herman adalah kepala
Puskesmas di Desa Suka Sari, sejak 3 tahun belakangan ini. Walaupun dr.Herman
tidak tinggal di Puskesmas tersebut,
tapi tinggal sekitar 10 Km dari Desa Suka Sari, beliau setiap hari
datang untuk melayani penduduk desa tersebut.
Suka-duka menjadi kepala
Puskesmas di pedesaan sudah banyak dialaminya. Kepercayaan masyarakat desa yang
masih kuat memegang tradisi menjadi tantangan tersendiri bagi dr. Herman.
Banyaknya kasus kematian di desa tersebut disebabkan masyarakat desa Suka Sari
masih lebih suka berobat kedukun dari pada ke dokter.
Apa lagi menangani kasus
melahirkan. Orang-orang masih lebih percaya pada dukun beranak dari pada bidan
atau doter. Dalam kasusu-kasus “terpaksa” sajalah mereka berobat ke Puskesmas.
Terkecuali Pak Udin. Kelurga Pak Udin adalah salah satu yang berbeda
dengan penduduk desa lainya. Mereka masih lebih percaya pada dokter dari pada
dukun. Ini terbukti setiap kali melahirkan anak, Pak Udin dan istrinya lebih
mau ke Puskesmas dari pada dukun beranak. Padahal Bu Murni, tetangga dekatnya
adalah seorang dukun beranak yang terkenal di desa Suka Sari.
Suatu hari Pak Udin pernah menyaksikan pasien Bu Murni meninggal
saat melahirkan. Awalnya persalinan berjalan lancar. Namun tiba-tiba sang ibu
mengalami pendarahan. Melihat itu Bu Murni segera membawanya ke Puskesmas Suka
Sari. Tetapi, sesampainya di Puskesmas wanita malang itu menghembuskan nafasnya
yang terakhir. Kejadian itu membuat Pak Udin lebih percaya pada Dokter. Memang
anak pertamanya lahir dengan sukses ditangan Bu Murni. Tetapi setelah kejadian
itu, untuk anaknya yang berikutnya, Pak Udin tetap membawanya ke Puskesmas.#
Puskesmas Suka Sari
adalah satu-satunya fasilitas kesehatan di desa tersebut. Bangunan tua bekas
kantor “Kompeni Belanda” ketika berkuasa di daerah tersebut, menjadi pilihan
pemerintah untuk memfungsikannya. Bangunan itu cukup besar dan luas. Ruang
utamanya saja terdiri dari 10 kamar. Di
kiri-kanannya terdapat bangunan lain yang juga lumayan besar. Beberapa bekas
rumah dinas ada di bagian belakang bangunan utama. Salah satunya menjadi rumah
dinas Bidan Sri. Dan satunya lagi difungsikan menjadi mushalla.
Lapangan rumput
yang luas, beberapa pohon asam jawa yang besar dan bunga-bunga tersebar
disetiap bagian Puskesmas membuat Puskesmas Suka Sari, cukup indah dipandang
mata. Hanya suasana malam saja yang membuat Puskesmas itu kelihatan angker
karena bertetangga dengan hutan lebat di belakangnya.
Menurut kepercayaan
masyarakat setempat di lokasi Puskesmas itu sering terlihat arwah gentayangan.
Pernah terjadi pada
diri Bang Duan. Waktu itu – sore hari, Bang Duan mengantar seorang wanita ke ujung
desa Suka Sari. Sebelah selatan Puskesmas. Awalnya Bang Duan merasa biasa-biasa
saja, karena jalanan itu sudah sering dilaluinya. Tapi ketika itu- setelah mengantar wanita tersebut ke ujung
desa, Bang Duan pulang kemalaman melalui jalanan di depan Puskesmas. Suasana
Puskesmas terlihat remang-remang. Memang penerangan di Puskesmas itu kurang
mendapat perhatian dari Pemerintah.
Seseorang
menyeberang jalan menuju Puskesmas, melewati becak Bang Duan.
Orang itu pakai celana panjang hijau dan baju kaos coklat. Berlari
menuju Puskesmas dengan terburu-buru. Digerbang Puskesmas orang itu terjatuh.
Melihat itu sepontan saja Bang Duan turun dari becaknya untuk menolong.
Laki-laki itu terduduk bersimpuh dengan kedua tangan menyentuh tanah,
membelakangi Bang Duan. Segera Bang Duan ingin menolongnya.
“Pak sini, biar
saya tolong. Bapak terjatuh. Kenapa terburu-buru?” Sapa Bang Duan dengan
tenang. Orang itu diam saja tidak bereaksi, masih membelakangi Bang Duan.
Akhirnya Bang duan menyentuh bahu laki-laki itu dan membalikkan tubuhnya.
Betapa terkejutnya Bang Duan, ternyata laki-laki itu berwajah
menyeramkan dengan berlumuran darah. “Aaaaaaaaaa!” Teriak Bang Duan dan beliau
pingsan.
Ketika sadar Bang Duan sudah berada di Puskesmas. Suami Bidan Sri-
Suparjo, menemukan Bang Duan pingsan digerbang Puskesmas ketika beliau pulang
dari kota.
Kejadian itu tersebar keseluruh penduduk desa
Suka Sari. Sampai hari ini, penduduk desa tidak berani pulang malam melewati
jalan di depan Puskesmas tersebut.
Dulu dimasa perang
kemerdekaan para laskar berhasil membunuh para Belanda itu di bangunan
tersebut. Dendam kesumat karena kekajaman Belanda ketika itu, membuat para
laskar tanpa ampun menghabisi mereka di lokasi tersebut.
Konon ceritanya
pihak Belanda pernah berbuat kejam pada penduduk desa. Suatu hari pihak Belanda
menangkap seseorang yang diduga mata-mata laskar Indonesia. Pemuda itu
diinterogasi dan disiksa. Tetapi pemuda malang itu tidak mau menuruti
permintaan pihak Belanda.Hingga akhirnya pada siang hari pukul 12.00; dihadapan
masyarakat desa, pemuda itu digantung di halaman Puskesmas. Mayatnya dibuang ke
hutan.
Masyarakat desa
mencari mayat pemuda malang itu ke hutan untuk disemayamkan dengan layak.
Tetapi sampai saat ini mayat itu tidak ditemukan.
Dendam kesumat itu
terbalaskan ketika laskar Indonesia; dengan kekuatan penuh dan dibantu oleh
penduduk desa dapat membunuh semua Belanda itu dalam sebuah pertempuran hebat.
Kini lokasi tersebut
sudah menjadi Puskesmas Suka Sari tempat Pak Udin menunggu anak ke 5 nya lahir.#
Beberapa tetangga
Pak Udin datang menjenguk ke Puskesmas Suka Sari. Sudah menjadi tradisi di desa
itu untuk saling berbagi suka dan duka. Kehidupan desa memang masih kuat rasa
persudaraan dan tenggang rasa diantara sesama penduduk desa. Seperti saat ini,
Pak Udin sedang gelisah menunggu kelahiran anaknya yang ke 4. Sebagai tetangga
mereka menunjukkan rasa simpatinya dengan berkunjung ke Puskesmas Suka Sari.
Tidak ketinggalan Bu Murni-dukun beranak tetangga Pak Udin pun datang dengan
membawa anaknya Ida dan anak-anak Pak Udin ke Puskesmas. Pak Lukman adik
kandung Pak Udin datang membawa rantang berisi makanan bersama istrinya Bu
Lastri.
Sementara itu Pak
Udin sedang duduk bengong diluar ruang bersalin menunggui istrinya sejak jam
06.00 pagi tadi. Pandangan matanya kosong. Jari tangannya diremas-remasnya
sendiri sebagai tanda gelisah dihati yang tidak dapat disembunyikannya.
Sesekali matanya melihat ke atas.
“Ayaaaah!” Suara
anaknya Dina yang berusia 3 tahun membuatnya terkejut. Adi dan Ani tidak ikut
karena sekolah. Pak Udin tersenyum gembira melihat kedatangan anaknya dan para
tetangganya tersebut. Pak Lukman adiknya
menyodorkan rantang berisi makanan kepada Pak Udin.
“Bagaimana perkembangannya,Bang?” Tanya Pak
Lukman pada abangnya. “Belum ada perkembangan. Masih diperiksa dr. Herman di
dalam,” jawab Pak Udin dan menyapa Bu Murni,” Terima kasih ya, Bu. Sudah
repot-repot membawakan anak saya.”
“Aduh, Bapak ini, seperti orang lain saja.
Sabar ya, Pak. Mudah-mudahan lancar lahirnya.” Bu Murni menimpali.
“Sejak jam berapa di
sini?” Tegur Pak Misno ikut beramah - tamah.
“Abis shalat subuh di rumah.Tiba-tiba istri
saya merasa sakit. Bersama becak Bang Duan, saya mengantar istri saya ke sini
Pak.” Jelas Pak Udin sambil meletakkan rantang makanan di atas kursi.
“Udah, abang makan
dulu ,” sapa Lastri istri Pak Lukman, adik ipar Pak Udin, “Dina, sini makan sama
Bibi.”
Selagi mereka makan,
tiba-tiba dr.Herman keluar dari ruang bersalin. Segera saja ditinggalkan Pak
Udin makanannya dan menyapa dr. Herman.
“Bagaimana, dokter?”
cecar Pak Udin,”Apa sudah ada tanda-tanda bakal melahirkan?”
“Tenang saja, Pak.
Istri Bapak baik-baik saja. Jalannya baru terbuka 2. Sabar,ya!”
Ujar dr.Herman berlalu.
“Boleh saya lihat,
ya Dok?”
“Iya..iya,
silahkan.” Dr. Herman berlalu.
Bidan Sri dengan ramah menemani mereka
menjenguk Bu Munah di dalam ruang bersalin.
Bu Munah merasa terhibur dengan kedatangan anaknya dan para
tetangganya. Mereka bertegur sapa saling memberi kekuatan dan dorongan untuk
sabar. Tidak lupa mereka berpesan untuk selalu berdoa dan berdzikir kepada
Allah. Dina anak Bu Munah memegangi ibunya. Pak Udin memegangi tangan istrinya
sebagai bentuk rasa sayang kepadanya.
Para tetangga Pak Udin
permisi pulang setelah merasa puas menunjukkan simpatinya pada mereka.#
Sampai waktu Ashar, Bu Munah
belum juga melahirkan. Anak Pak Udin dibawa pulang oleh Bu Lastri. Pak Lukman
tidak tega meninggalkan abangnya gelisah sendirian menunggui Bu Munah di
Puskesmas.
“Apa mungkin karena tidak melakukan nujuh
bulanan, proses kelahirannya tidak lancar, Man?” Tanya Pak Udin pada
adiknya.
“Ah…itu tradisi Jawa Bang.Tingkepen namanya. Bagi kita
orang Mandailing tidak ada itu. Atau tradisi Melayu pun tidak ada itu. Jangan
abang percayai itu.Dari anak pertamapun, tidak pernahkan abang lakukan” Jawab
Lukman tegas.
“Iya, memang. Tapi
kali ini kok,.. aku….ah…,” sambil menghela nafas,” Dulu, aku pernah ditegur Bu
Murni dukun beranak itu, apa sudah membuat nujuh bulanan,
katanya. Aku bilang tidak dan saat dia bertanya, usia kehamilannya sudah 8
bulan. Jadi, tidak ku buat, memang.” Jelas Pak Udin.
“Masalah kelahiran
Pak, bukan karena nujuh bulanan atau tidak,” ternyata Bidan Sri mendengar
perbincangan kami,”Itu mitos yang seharusnya tidak kita percayai. Yang membuat
lancarnya kelahiran karena 3P, passanger atau ukuran bayi, passage
atau jalan lahir dan power , yaitu kekuatan ejanan si ibu. Jika
bayinya kebesaran atau jalan lahirnya belum terbuka atau sempit dan ejanan
ibunya tidak kuat, ya sulitlah lahirnya. Nah untuk istri Bapak ini, sampai saat ini dari jalan
lahir baru terbuka 2. Jadi kita bersabar saja dulu. Sore nanti dr.Herman akan
memeriksanya kembali. Jadi sabar aja ya, Pak. Jangan mikirin macam-macam.
Berdoa sajalah.”
“Iya, Bu. Terima kasih.” Ujar Pak Udin.#
Dr. Herman keluar dari ruang bersalin dengan wajah lesu. Wajahnya
yang selalu tersenyum kini kelihatan murung. Seperti ada fikiran yang
mengganjal dari raut wajahnya. Sudah beberapa kali dia memeriksa kandungan Bu
Munah. Tapi tanda-tanda untuk segera melahirkan belum juga terlihat.
Melihat dr.Herman
keluar dari ruang bersalin dengan wajah yang suram, dengan penuh hati-hati Pak
Udin menghampirinya. “ Bagaimana dokter?” Sapa Pak Udin dengan bergetar.
“Kita bicara di dalam ruangan saya saja ya, Pak.” Jawab dr.Herman
seadanya dan berjalan menuju ruangannya dan diikuti Pak Udin dengan wajah
gusar.
Entah apa yang diceritakan dr.Herman kepada Pak Udin. Sementara di
ruang bersalin, bidan Sri menemani Bu Munah.
Lukman yang setia menemani
abangnya menunggu dengan wajah penasaran.
Tidak lama berselang, Pak Udin keluar dari ruangan dr.Herman dengan
wajah tegang. Tergambar galau dari sikapnya ketika disapa adiknya, Lukman. “
Kenapa Bang?” wajah Pak Lukman gusar,” Apa yang dikatakan dokter?”
“Jalannya masih tetap terbuka 2. Kalau sampai besok pagi tidak lahir
juga kita akan membawa kakakmu ke kota, Rumah Sakit Besar.” Jawab Pak Udin
pelan. Wajahnya terlihat gusar.
“Mungkin perlu selusuh, Bang.” Lukman memberi saran.
“Apa itu?” Tanya Pak Udin.
“Doa-doa yang dibacakan
kepada air putih. Memang, itu ada pada masyarakat Melayu. Kak Munah tahu itu.”
Jelas Lukman pada abangnya.
“Siapa ahlinya?”
“Wak Hamzah. Tapi dia tinggal
di kampung sebelah. Lumayan jauh dari desa kita.”
“Ya, sudah. Kau panggillah.
Datangi Bang Duan agar menemanimu.” Perintah Pak Udin bersemangat.
Lukman berangkat untuk
menemui Wak Hamzah di kampung sebelah. Tinggallah Pak Udin sendirian menemani
istrinya yang belum juga melahirkan.#
Waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Tapi Lukman belum juga muncul
membawa Wak Hamzah. Harapan agar diselusuh oleh Wak Hamzah untuk kelancaran
kelahiran anaknya yang ke 5, membuat Pak Udin berdiri sendirian dipintu pagar
Puskesmas. Memperhatikan jalanan sepi dan gelap di ujung desa Suka Sari.
Orang-orang, para
pembesuk sudah pulang meninggalkan Puskesmas sejak maghrib tadi. Tinggallah
beberapa pasien yang rawat inap dengan beberapa orang keluarga yang
menemaninya. Suasana malam yang remang-remang membuat mereka semua berada di
dalam ruangan. Para perawat yang jagapun enggan keluar ruangan jika tidak ada
keperluan. Sesekali terdengar suara keluhan pasien yang merasa kesakitan.
Bosan menunggu adiknya, Pak Udin duduk dibangku tunggu dekat ruang
bersalin. Suasana sangat sepi karena orang-orang berada di dalam
ruangan.Tiba-tiba terdengar dari arah belakang Pak Udin suara langkah orang berjalan menuju kearahnya.
Tapi ketika langkah itu sudah dekat, Pak Udin berbalik badan; ingin
tahu – siapa dia? Ternyata tak seorangpun yang ada di belakangnya. Pak Udin
berdiri mencari kelorong sebelah. Tidak
ada siapa-siapa. Pak Udin hanya menggelengkan kepala. “Ah, mungkin perasaanku
saja,”katanya dalam hati. Pak Udin kembali duduk dan mengarahkan pandangannya
ke pintu gerbang Puskesmas menunggu adiknya membawa Wak Hamzah.
Sudah pukul 09.30 malam. Lukman, adik Pak Udin belum juga muncul
membawa Wak Hamzah. Terpikir oleh Pak Udin untuk melakukan shalat ‘Isya.
Mushalla tepat dibelakang Puskesmas. Teringat akan peristiwa yang baru
dialaminya, Pak Udin sedikit merasa takut juga. Karena itu diputuskannya untuk
menunggu Lukman saja, baru mereka
melaksanakan shalat.
Tiba-tiba Pak Udin melihat seseorang berjalan menuju mushalla.
Kebetulan ada kawan maka tidak disia-siakan olehnya. Maka Pak Udin berdiri dan
berjalan kearah yang sama. Pak Udin berwuduk mengikuti laki-laki tadi. Tapi
ketika sudah berada di dalam Mushalla, Pak Udin tidak melihat siapa-siapa. Dia
lihat ke kiri dan kanan. Mencoba melihat kearah luar dan tempat wuduk. Sepi.
Karena sudah berada di dalam Mushalla, Pak Udin pun shalat
sendirian. Untuk mengurangi rasa takutnya dia shalat di dalam mihrab dan
menzaharkan bacaannya. Ketika membaca WALADHDHALLIN…! Tiba-tiba terdengar suara
“AMIN” di belakangnya. Merasa ada makmum dibelakang, Pak Udin semakin
bersemangat dalam shalatnya.
Rakaat terakhir dilakukan Pak
Udin dengan mengucapkan,”Assalamu’alaikum warahmatullahi wabara katuh” Melihat
kekiri dan kekanan. Setelah itu Pak Udin menghadap kebelakang. Ternyata tidak
ada orang yang menjadi makmumnya. Betapa terkejutnya Pak Udin. Dengan mengucap
astaghfirullah, Pak Udin melompat dan berlari kecil meninggalkan Mushalla. Tiba
di persimpangan tiba-tiba Pak Udin bertabrakan dengan seseorang,” Aaaakh!” Sedikit,
teriak Pak Udin.
“Aaakh! Abang, ada apa?” Ternyata Lukman sedang mencari abangnya.
“Oh….tidak apa-apa.Ternyata kau.” Pak Udin menimpali dengan suara
gugup.
“Ada apa Bang? Sepertinya abang ketakutan.” Selidik Lukman.
“Sudahlah. Mana Wak Hamzahnya? Ada?”
“Iya…Ada. Dia menunggu di depan.” Kata Lukman sambil berjalan
beriringan dengan Pak Udin.
Pak Udin sesekali melihat
kebelakang. Rasa penasarannya tentang kejadian yang baru dialaminya membuat
perilakunya aneh. Lukman merasa heran dengan perilaku abangnya itu. Tapi Lukman
tidak merasa penting untuk menyelidikinya.
Sesampainya di depan ruang tunggu, Pak Udin menjabat tangan Wak
Hamzah.
Laki-laki tua berjenggot putih penuh wibawa itu belum dikenalnya.
Dengan senyum Wak Hamzah menyambut uluran tangan Pak Udin untuk bersalaman.
Sementara Bang Duan duduk santai menunggu di becaknya.
“Ini abang saya,
Wak,”Lukman memperkenalkan,” Istri abang inilah yang dari subuh sampai malam
ini belum melahirkan.”
“Kata dokter kalau sampai pagi belum juga lahir, maka harus dibawa
ke Rumah Sakit Besar di Kota. Tolonglah Uwak baca-bacakan dulu.” Pinta Pak Udin
dengan tulus.
“Oo, begitu ceritanya. Tak masalah itu. Kita
coba. Kita minta pada Allah,”jelas Wak Hamzah,” Sekarang ambillah air putih di
dalam cawan.”
Seperti yang sudah dikatakan Lukman sore tadi, maka pak Udin sudah
mempersiapkan air putih di dalam cawan. Segera saja air itu dia serahkan pada
Wak Hamzah.
Wak Hamzah minta
untuk diantar ke Mushalla. Setelah melaksanakan shalat ‘Isya bersama Lukman.
Wak Hamzah kembali shalat 2 raka’at.
Shalat Hajat. Kemudian Wak Hamzah
meletakkan air di dalam cawan di depannya- diatas sajadah. Diangkatnya cawan
berisi air itu. Didekatkannya pada bibirnya.Mulailah Wak Hamzah berkomat-kamit
membacakan ayat-ayat dan doa-doa.
Samar-samar
terdengar suara Wak Hamzah membaca Al Fatihah. Kemudian Shalawat Nabi. Kemudian
bacaan-bacaan lain yang tidak difahami oleh Pak Udin dan Pak Lukman. Hampir 7
menit kemudian Wak Hamzah selesai melakukan ritual selusuh yang
akan dipergunakan untuk membantu kelancaran kelahiran Bu Munah. Terakhir Wak
Hamzah menghembus air di dalam cawan tersebut dan kemudian menyerahkannya
kepada Pak Udin. “Nah, ini air sebagian dibasuhkan keperut dengan arah kebawah.
Sambil membaca shalawat Nabi. Sebagian lagi diminumkankan dengan membaca
Bismillah dan shalawat Nabi.” Jelas Wak Hamzah.
“Kapan dilakukan Wak?” Tanya Pak Udin dengan
semangat.
“Ya, lebih cepat, lebih bagus.” Jawab Wak Hamzah tenang.
Pak Udin minta permisi pada Bidan Sri untuk membasuh Bu Munah dengan
air selusuh. Dengan senyum Bidan Sri mempersilahkannya. Seperti apa yang
dikatakan Wak Hamzah, Pak Udin sempurna melaksanakannya.
Setelah semuanya selesai Pak Udin keluar ruang bersalin dan menemui
Wak Hamzah. “Selanjutnya bagaimana Wak?” Tanya Pak Udin setelah berada di luar.
“Berdoalah pada Allah. Pasrahkanlah kepadanya. Ikhlaskan Hati dari
apapun keputusannya nanti. Semuanya terjadi atas izin Allah.” Jelas Wak Hamzah.
Menjelang pukul 11.30 Wak Hamzah permisi pulang. Kebetulan rumah Wak
Hamzah searah dengan rumah Bang Duan-tukang becak yang dipesan untuk mengantar
jeputnya.
Pak Udin menyalam “tempel” pada Wak Hamzah sebagai tanda terima
kasih. Awalnya Wak Hamzah menolak, karena merasa hanya menolong sesama saja.
Tapi Pak Udin tetap memaksanya untuk menerima “bayaran” itu. Akhirnya Wak
Hamzah menerimanya. Tidak ketinggalan juga, membayar ongkos untuk becak Bang
Duan.#
Bu Munah mengeluh
sakit pada perutnya. Bidan Sri yang sedang istirahat di rumah dinasnya
dipanggil oleh suster penjaga. Segera Bidan Sri menyampari Bu Munah. Ada
sedikit senyum tersembul dari wajah Bidan Sri ketika keluar dari ruang bersalin
setelah memeriksa Bu Munah. “Jalannya sudah buka 4.” Jelasnya pada Pak Udin,”
Kalau sampai pagi perkembangannya menunjukkan kemajuan, maka tidak jadi di bawa
ke Rumah Sakit Besar di kota.” Jelas Bidan Sri pada Pak Udin.
Pak Udin menengadahkan wajahnya ke atas. Terbayang olehnya selusuh
Wak Hamzah. Baru beberapa saat di selusuh, Bu Munah memperlihatkan
perkembangannya.
“Mudah-mudahan dapat lahir dengan lancar tanpa harus ke kota.” Ujar
Pak Udin dalam hati.
Malam beranjak larut. Pak
Udin dan adiknya Lukman terus mengobrol
kesana-kemari. Gelisah hati Pak Udin sedikit berkurang karena adanya
perkembangan istrinya. Tiba-tiba Pak Udin dikejutkan dengan sosok bayangan yang
menyelinap masuk kearah Mushalla.
Melihat gelagat aneh pada abangnya, Lukman bertanya,”Ada apa bang?
Tadi kulihat abang seperti ketakutan ketika di Mushalla tadi. Ini abang seperti
terkejut melihat kearah Mushalla. Ada apa sebenarnya?”
Dengar jujur Pak Udin
menceritakan kejadian yang dialaminya di Mushalla saat melaksanakan shalat
‘Isya. Dan kini, baru saja ia melihat bayangan bergegas kearah Mushalla. Lukman
merasa ngeri juga mendengarnya.
Tapi karena
penasaran mereka berdua memberanikan diri meninjau mushalla. Mana tahu memang
ada orang yang datang ke Mushalla.
Mushalla itu sepi dan cahaya remang-remang.
Hanya satu lampu di kamar mandi dan satu lampu di ruang utama Mushalla.
Sementara disekelilingnya diterangi oleh lampu teras dari ruang-ruang
Puskesmas. Sehingga Mushalla itu tidak begitu mendapat cahaya yang cukup.
Pak Udin dan Lukman memperhatikan keadaan disekitar
Mushalla dan tempat wuduk. Ternyata bayangan seseorang yang dilihat Pak Udin
berjalan kearah Mushalla, memang tidak ada. Melihat keadaan itu Pak Udin dan Lukman
bergegas pergi meninggalkan Mushalla itu menuju ruang tunggu kamar bersalin
istrinya, Bu Munah.
***
Tidak seperti
biasanya, hari ini dr. Herman datang lebih awal. Langsung saja beliau menuju
ruang bersalin Bu Munah. Kedatangan dr. Herman disambut Bidan Sri dengan ramah.
Pak Udin segera menghampiri dr. Herman dengan melempar senyuman.
“Bagaimana
perkembangannya?” Tanya dr.Herman pada Bidan Sri.
“Sudah buka 4
dokter.” Jawab Bidan Sri datar.
“Kalau begitu kita
tunggu beberapa saat lagi,” kemudian berbicara pada Pak Udin,”Pak , sudah
bolehlah kita persiapkan diri untuk menuju kota, jika istri Bapak tidak juga
melahirkan.”
“Iya dokter.” Ujar
Pak Udin gugup.
Dari arah pintu gerbang Puskesmas terlihat Ustadz Hasan dan istrinya
Zubaidah memasuki Puskesmas Suka Sari dengan mengendarai sepeda motor.
Pak Udin sangat bergembira
melihatnya.
“Assalamu’alaikum! Bagaimana
Pak Udin? Apa saya sudah dapat keponakan baru, ini?” Ustadz Hasan ramah kepada
Pak Udin sambil menjabat tangannya. Bu Zubaidah istrinya meberikan rantang
berisi makanan ketangan Pak Udin.
“Wa ‘alaikumsalam! Aduh, bu!
Merepotkan sekali. Mesti bawa makanan segala.” Sambut Pak Udin malu-malu,”
Masih belum lahir juga Ustadz. Mungkin supaya Ustadz doakan juga agar lahir,”
kata Pak Udin kepada Ustadz Hasan.
Tiba-tiba Bidan Sri keluar
dari ruang bersalin. Beliau berjalan cepat kearah kami.
Melihat gelagat itu Pak Udin berjalan menyambutnya, penuh antusias.
“Pak Udin; sepertinya akan
lahir disini. Tapi Bu Munah terus meringis. Mungkin perlulah Bapak temani, “
pinta Bidan Sri.
“Baiklah Bu,” ujar Pak Udin.
Ustadz Hasan dan istrinya Zubaidah mengikuti Pak Udin menuju ruang bersalin.
“Tadi malam saya mengundang
Wak Hamzah dari kampung sebelah untuk melakukan selusuh pada istri saya,
Ustadz,” ujar Pak Udin sambil menuju ruang bersalin,”Saya lihat berhasil
Ustadz. Soalnya jika pagi ini tidak lahir juga, maka akan dibawa ke Rumah Sakit
Besar di kota.”
“O…,gitu ya.” Ustadz
Hasan menimpali.
Selang waktu tak begitu lama,
dr. Herman pun memasuki ruang bersalin.
Bu Munah merintih kesakitan
sambil memegangi tangan suaminya. Dengan senyum hambar karena menahan sakit, Bu
Munah menyapa Ustadz Hasan dan istrinya.
Kemudian beliau memohon, “Ustadz tolong doakan saya.”
“Iya, bu.Sabar ya. Ibu mesti
kuat, ujar Ustadz Hasan kemudian mengangkat tangan berdoa,”ALLAHUMMA LAA SAHLA
ILLA MAA JA’ALTAHU SAHLAN WA ANTA TAJ’ALILHAZNA IDZAA SYIKTA SAHLAN, Ya,
Allah tidak ada yang mudah kecuali apa yang Engkau mudahkan dan tidak ada yang
sulit jika Engkau menghendakinya mudah. Amin.” Ustadz Hasan menyapu wajahnya.
“Baik, ya Pak.
Bolehlah menunggu di luar.” Dr. Herman mempersilahkan mereka meninggalkan ruang
bersalin.
Pak Udin
menggenggam tangan Bu Munah dan permisi
pada istrinya untuk menunggu di luar. Memang
sejak anak pertama Pak Udin tidak pernah mendampingi istrinya jika melahirkan. Katanya,
tidak sanggup.#
Lukman dan istrinya Bu Lastri telah menunggu
di luar ruang bersalin. Bersama anak-anak Pak Udin mereka semua menunggu Bu
Munah melahirkan. Kedatangan Bu Lastri membawa anak-anak Pak Udin dikarenakan
ada kemungkinan ibu mereka akan dibawa ke Rumah Sakit Besar di kota.
Ustadz Hasan mendampingi Pak Udin yang
gelisah. Kehadiran anak-anaknya tidak mampu menyembunyikan kegundahan di hatinya. Beda dengan kelahiran anak-anaknya
yang lain, kali ini Bu Munah sedikit susah dalam melahirkan. Biasanya hanya
menunggu beberapa jam, Bu Munah sudah melahirkan. Apakah karena usia semakin
bertambah sehingga Bu Munah agak kesulitan melahirkan, atau memang ada faktor
lain yang mungkin di luar nalar manusia. Keadaan yang demikian itulah, sehingga
Pak Udin terlihat sangat gelisah sejak pertama mengantar istrinya ke Puskesmas.
Tiba-tiba dr.
Herman keluar dari ruang melahirkan.
Pak Udin segera
menyongsong dr. Herman. “Bagaiman dokter?”
“Selamat, ya Pak!
Anak Bapak ganteng.” dr. Herman berlalu.
“Laki-laki ? Alhamdulillah! Berkat selusuh
Wak Hamzah akhirnya lahir juga dengan selamat.” Kata Pak Udin - tak sadar, dia lupa doa Ustadz Hasan yang berada
disampingnya.
“Selamat Pak Udin.
Anaknya sudah lahir,”sela Ustadz Hasan,”Tadi, apa Bapak bilang? Selusuh Wak
Hamzah?”
“Iya, Ustadz. Sejak
diselusuh oleh Wak Hamzah malam tadi, istri saya mengalami perkembangan dan
Alhamdulillah, pagi ini lahir dengan selamat.”
“Pak Udin,..Pak Udin…,kalau selusuh itu ada di
dalam ajaran Islam, tentunya Nabi Muhammad menyelusuh istri-istrinya ketika
melahirkan. Akan menyelusuh Fatimah, anaknya, ketika melahirkan cucunya Hasan
dan Husein. Tapi kan, tidak. Kita hanya disuruh berdoa saja kalau menginginkan
sesuatu.” Ustadz Hasan menjelaskan.
Sementara Pak Udin mengangguk-angguk kurang memperhatikan ucapan
Ustadz Hasan sangkin gembiranya mendengar anaknya sudah lahir.
***
Hari Sabtu pukul 10.00, anak Pak Udin dan Bu Munah lahir dengan
normal di Puskesmas Suka Sari. Sebagaimana biasa yang dilakukan-jika anak
laki-laki maka diazankan pada telinga kanannya. Setelah selesai dibersihkan Pak
Udin pun menggendong anaknya dan mengazankannya.
Karena kesehatan Bu Munah sudah normal, hari Seninnya mereka pulang
kerumah dengan becak Bang Duan.
Di rumah mereka disambut oleh Bu Murni, dukun beranak, tetangga
dekatnya.
Dengan penuh gembira Bu Murni mengendong bayi mungil anak ke 5 Pak
Udin dan Bu Munah. “Siapa toh namanya?,” Tanya Bu Murni sambil menimang bayi
kecil itu menuju masuk ke dalam rumah.
Bu Munah diam saja belum menanggapinya. Sambil dipapah Pak Udin
mereka masuk kedalam rumah yang sudah disetting Bu Murni bersama Ani, anak Pak
Udin, mempersiapkan kamar untuk orang yang baru bersalin. Bu Munah dibaringkan
ditempat tidur. Bersamaan dengan ini Bu Marnipun meletakkan bayi mungil Bu
Munah disampingnya.
Bang Duan bersama
Adi mengemasi barang-barang bawaan dari
rumah sakit untuk dibawa ke dalam rumah.
Tampak kegembiraan
diwajah mereka semua.
“Siapa toh
namanya?.” Suara Bu Murni kembali bertanya pada mereka.
“Untuk anak
laki-laki, Ibunya yang memberi nama,” ujar Pak Udin.
“Jadi, siapa namanya, Bu?” Tanya Ani kemudian.
“Untuk adikmu yang
baru ini, Ibu beri dia nama SULTAN ISKANDAR MUDA”
Semua terdiam sejenak.
“Wah…bagus sekali. Cocok banget. Nama Raja Aceh toh?” kata Bu Murni
dengan semangat,” Untuk orang yang lahir hari Sabtu, agak bandel lo, Pak. Jadi
cocok banget. Biar jadi pemimpin.”
“Ibu ini ada saja. Masak, ada kaitannya hari lahir dengan sifat
seseorang.” Pak Udin menimpali.
“Iya lo, Pak. Pokoknya Bapak
sama Ibu harus keras dikit. Biasanya bandel lo.”
Jelas Bu Murni kembali.
Suasana rumah itu menjadi semarak dengan berdatangannya
tetangga-tetangga mereka. Sampai malam hari masih ada saja tamu-tamu yang
berkunjung menunjukkan rasa gembira mereka dengan kehadiran orang baru di desa
Suka Sari dengan nama SULTAN ISKANDAR MUDA.
***
2.
HANAFI
ABBAS
ORANG MISTIRIUS
Malam itu udara begitu dingin. Bekas hujan
sore tadi. Bu Munah sudah tidur dikamarnya. Anak mungilnyapun tertidur
disisinya. Ani anak tertuanya melakukan “beres-beres” di kamar ibunya. Adi dan
Dina sedang bermain di ruang tengah. Sementara
Pak Udin lagi membereskan ruang tamu yang agak berantakan karena kurang terurus
sejak proses bersalin istrinya di Puskesmas Suka Sari. Tiba-tiba dari luar
terdengar ucapan salam orang yang ingin bertamu. “Sssalamelleikum,” Suaranya
berat dan datar.
“Wa’alaikum-salam,” jawab Pak Udin segera
menuju pintu yang sudah tertutup.
Seseorang yang tidak dikenal datang
berkunjung. Badannya gemuk dan pendek dengan wajah opal. Kulitnya putih;
sedikit pucat. Sorot matanya sendu dan tajam. Melihat perawakannya orang itu
berusia sekitar 50 tahunan. “Silahkan masuk,Pak! ” Pak Udin dengan ramah mempersilahkan
orang itu masuk, “Silahkan duduk!” lanjutnya.
Dengan senyum tipis
laki-laki itu masuk, menyalami Pak Udin. Matanya memandang keliling ruang tamu
Pak Udin sambil duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan kamar Bu Munah.
Tampak sedikit cangggung Pak Udin menghadapai
orang itu. Laki-laki itu sepertinya tidak pernah dilihat Pak Udin di desa Suka
Sari. Selagi Pak Udin memikir-mikir tentang laki-laki yang dihadapannya itu,
tiba-tiba laki-laki itu berkata,
” Selamat, ya Pak, mendapat anak laki-laki,”
suaranya santai dan datar,”Sudah berapa hari, Pak?” tanyanya kemudian.
“Oh…..iya….iya….,
terima kasih! Sudah 8 hari,” jawab Pak Udin seketika, “ Eee..,teringatnya Bapak
tinggal di mana, ya? Aduuuh, maklumlah mungkin karena kerjaan saya di kebon,
saya kurang banyak bergaul hingga saya mungkin lupa sama Bapak.” Kata Pak Udin
dengan nada seloroh mengakrapkan diri.
“Saya tinggal di, dekat sungai,” jawab
laki-laki itu santai,” Saya ingin memberitahu-mungkin Bapak kurang tahu-ibu dan
anak yang baru lahir biasanya sering mendapat gangguan. Jadi perlu dipagari,”
lanjutnya dengan suara datar.
Pak Udin termangu mendengar
penjelasan laki-laki itu. Matanya menatap laki-laki itu dengan serius,”Ooo…gitu,
ya Pak.” Pak Udin manggut-manggut.
Mereka saling diam.
Dari ruang tengah terdengar
suara Adi dan Dina tengah bermain.
Entah berapa lama mereka
berdiam diri. Pak Udin yang biasanya lancar dalam berkomunikasi dengan
orang-orang, kini seperti kehilangan kamus dalam meladeni orang misterius yang
bertamu malam itu. Soalnya laki-laki itu menunjukkan sikap dan perilaku yang
agak aneh. Sesekali dia memiringkan kepalanya, seperti orang yang mendengarkan
bisikan. Untuk mencairkan suasana Pak Udin, memanggil Ani untuk membuat
minuman,” Ni…Ani.., buat minuman, ya! Ada tamu kita.” Pak Udin berbicara kepada
anaknya yang berada di kamar ibunya.
“Baiklah, Pak.
Saya permisi.Tidak usah repot-repot. ” Laki-laki itu segera berdiri dan
menjabat tangan Pak Udin.
Tak sempat berbasa-basi
lagi, dengan gugup Pak Udin mengiyakannya. Kemudian laki-laki itupun keluar dan
pergi tanpa menoleh lagi kebelakang. Dengan wajah penasaran, Pak Udin masuk
kerumahnya sambil menutup pintu. Teringat ia belum menanyai nama laki-laki itu,
Pak Udin segera membuka pintunya kembali untuk mencari laki-laki itu dan
menanyai namanya. Tapi anehnya orang itu sudah tidak kelihatan. Pak Udin
berjalan ke halaman dan melihat ke kiri kanan jalan yang sudah sepi. Tapi
laki-laki aneh itu tidak terlihat. Dengan wajah penasaran Pak Udin masuk
kerumahnya.
***
JIMAT IBU MELAHIRKAN
Awalnya Pak Udin tidak begitu ambil pusing dengan mitos-mitos. Sebagai
orang rantauan di Desa Suka Sari, sebenarnya Pak Udin adalah anak dari seorang
Imam Masjid dari Kota Kisaran Asahan dan cucu seorang “Lobe” dari Cibodak
Pasaman- sebuah komunitas Mandailing di Sumatera Barat. Sedikit banyaknya Pak
Udin mengerti juga tentang ajaran agama yang diterimanya ketika masih kecil.
Namun dikarenakan sejak usia 14 tahun beliau sudah merantau dan pernah menjadi
laskar, akhirnya banyak pengaruh lain yang diterimanya kemudian.
Kebiasaan masyarakat desa
Suka Sari, yang mayoritas penduduknya adalah suku Jawa-maklumlah mereka
kebanyakan para pekerja kebon juga, seperti Pak Udin. Mereka orang -orang
keturunan dari pulau Jawa yang masih kental dengan tradisi. Perilaku kebiasaan
penduduk desa itulah yang membuat Pak Udin pun terpengaruh dengan mitos-mitos.
Walaupun begitu tidak semua mitos diamalkan Pak Udin dan keluarganya. Jika
sudah ada kejadian sajalah Pak Udin baru mau melaksanakan anjuran para tetangganya
terutama Bu Murni. Seperti setiap kali Bu Munah hamil, mereka tidak
melaksanakan acara nujuh bulanan. Bahkan Bu Munah, pernah disuruh Bu Murni
untuk membawa gunting kecil kemana-mana-sebagai pagar badan- katanya ketika
itu, tidak juga dilakukan oleh mereka. Namun selusuh Wak Hamzah yang akhirnya
melancarkan kelahiran anaknya, membuat Pak Udin mulai percaya dengan
ritual-ritual yang banyak dilakukan penduduk desa.
***
Ucapan orang misterius yang datang malam itu
kini mengganggu pikiran Pak Udin. “Apa memang benar orang yang baru melahirkan,
Ibu dan anaknya selalu mendapat gangguan?” bisik hatinya.
Biasanya Bu Murni akan berinisiatif sendiri melakukan sesuatu untuk
orang yang baru melahirkan. Tanpa diminta, Bu Murni akan membuatkan hal-hal yang menurut ilmunya harus
dilakukan orang yang baru bersalin. Tapi sudah 8 hari kelahiran, Bu Murni hanya
selalu datang untuk membantu Bu Munah memandikan anaknya.
Memang sejak saran Bu Murni tidak begitu ditanggapi tentang acara
nujuh bulanan dan tangkal gunting kecil tidak dilaksanakan Bu Munah, beliau
tidak begitu ngotot memberi saran lagi untuk mereka.
***
Sebagai adik ipar,
Bu Lastripun tidak ketinggalan selalu datang meluangkan waktu berkunjung
kerumah Bu Munah. Kadang ikut juga memandikan bayi, membereskan rumah bersama
Ani, mempersiapkan keberangkatan sekolah mereka, bahkan ikut memasakkan
makanan. Hari itu kebetulan adalah hari
libur. Lukman ikut bersama istrinya berkunjung kerumah Pak Udin. Mereka
membicarakan rencana acara aqiqahan Sultan Iskandar Muda. Walau mereka hidup
sederhana namun kebiasaan orang desa- jika ada anak yang baru lahir maka di
aqiqahkan dan ditabalkan namanya.
“Jadi kapan
aqiqahannya,Bang?” Lukman memulai pembicaraan.
“Iya, seharusnya
hari ke 7, kan? Tapi kurasa hari ke 21 ajalah. Biar kakakmu lebih kuat lagi.”
Jelas Pak Udin,”Kemudian, biar lapang nanti ayah datang dari Kisaran. Bagaimana
sudah dikabari ayah, tentang kelahiran cucunya ini?” kata Pak Udin kemudian.
“Baiklah, nanti aku akan ke Kisaran mengabarinya dan mungkin sekali
gus membawanya kesini.” Jawab Lukman pada abangnya.
Sementara mereka berbincang
di ruang tamu, Bu Munah tiba-tiba turun dari tempat tidur menuju dapur. Melihat
kakak iparnya berjalan, Bu Lastri membantunya.
“Mau kemana kakak?” Sambil memegang tangan Bu Munah dan
membimbingnya berjalan.
“Aku mau ke sumur.” Kata Bu
Munah lemah. Sambil beriringan mereka kesumur yang ada di belakang rumah tidak
jauh dari dapur.
Selesai dengan keperluannya
di sumur, kemudian Bu Munah keluar dan disambut Bu Lastri untuk kemudian
dibimbing memasuki rumah. Ketika melewati belakang rumah menuju dapur,
tiba-tiba Bu Munah berhenti dan melihat ke kirinya.
Pandangannya dapat melihat orang yang datang kerumahnya. Seperti
melihat sesuatu, Bu Munah kemudian berhenti. “Kenapa ibuku berdiri saja di halaman? Suruh masuk lah!” Bu
Munah berkata dengan lembut pada Bu Lastri sambil memasuki dapur. Bu Lastri
diam saja tanpa berkomentar karena tidak melihat ada orang di halaman rumah.
Sampai di dalam
rumah Bu Munah menuju ruang tamu menemui suaminya yang sedang ngobrol dengan Lukman adiknya.”Bang, kok ibu tidak disuruh
masuk,” sambil menuju pintu,”Mana ibu tadi? Aku melihatnya dari belakang tadi.
Ibu berdiri di halaman.”
“Ibu siapa?” Tanya Pak Udin sambil berdiri.
“Ibuku! Aku melihatnya tadi
di halaman.” Jawab Bu Munah dengan suara agak meninggi.
“Astaghfirullah! Ibumu sudah meninggal setahun yang lalu,Dik.” Pak
Udin menjelaskan dengan nada penasaran.
“Tidak! Kalian biarkan ibu
berdiri saja tadi dihalaman.” Bentaknya sambil matanya melotot pada
suaminya. Tiba-tiba matanya terbalik
hingga kelihatan putihnya saja. Tubuhnya menegang seperti kayu kemudian
tumbang; untung ada Bu Lastri didekatnya yang kemudian memegangnya.
Pak Udin dan Lukman segera
merangkul Bu Munah yang keberatan dipegangi Bu Lastri. Mereka mengangkatnya ke
tempat tidur. Tapi tubuh Bu Munah sangat berat seperti berkilo-kilo baja. Tak
sanggup mengangkat Bu Munah, akhirnya mereka membaringkkannya dilantai. Dengan
memanggil beberapa tetangga dekat; termasuk Bu Murni, akhirnya Bu Munah dapat diangkat ke tempat tidur. Mereka
merasa sangat aneh. Tubuh Bu Munah yang tidak begitu gemuk, tetapi menjadi
sangat berat untuk dianggat ke tempat tidur.
Bu Lastri memijiti
tapak kaki Bu Munah. Bu Murni mengolesi hidung Bu Munah dengan minyak kayu
putih. Pak Udin duduk disamping kepala Bu Munah sambil membelai rambutnya. Tiba-tiba
Bu Munah membuka matanya. Pandangannya liar. “Jangan sentuh aku!” Bentaknya
mengagetkan mereka semua. Kakinya menunjang Bu Lastri. Tangannya mengibaskan
tangan Pak Udin,”Jangan sentuh aku!”
“Ngucap,Dik!
Astaghfirullahal’azim!..” Ajak Pak Udin.
“Sadar, Bu.” Bu
Murni menimpali.
“Pergi kalian semua! Pergi! Biarkan aku
bersama anakku.” Tiba-tiba suara Bu Munah berubah seperti suara ibunya.
Melihat itu, mereka menjadi panik. Akhirnya mereka memegangi Bu
Munah dengan kuat. Bu Munah memberontak. Tenaganya begitu kuat sehingga mereka
tercampak semua hanya dengan sekali hentakan saja. Dalam keadaan demikian
tiba-tiba orang miterius yang pernah datang berkunjung pada malam yang lalu,
muncul di depan kamar Bu Munah. Mulutnya komat-kamit kemudian menyilangkan
tangannya yang tergenggam, sambil menatap Bu Munah dengan tajam. “Keluarlah
dengan damai, siapapun dirimu! Jangan ganggu ibu ini. Dia sedang sakit.”
Katanya kemudian sambil matanya menatap mata Bu Munah yang liar dan merah
seperti ikan busuk.
“Siapa kau? Jangan
ikut campur!” Suara itu melalui bibir Bu Munah.
“ Sekali lagi saya
mohon, silahkan kau keluar dari tubuhnya. Kasihan dia.”
“Tidak! Kalian sudah tidak sopan kepadaku!
Aku datang ingin melihat anakku. Tapi kalian semua tidak mempersilahkan aku
masuk”
“Maafkanlah mereka! Sekarang
keluarlah. Kasihan dia menderita
jadinya. Nanti badannya akan menjadi lebih sakit.” Pinta orang misterius itu
dengan lembut.
Bu Munah duduk disamping
tempat tidurnya. Matanya yang liar masih menatap laki-laki mistirius itu.
Rambutnya kini tergerai menutupi sebagian wajahnya. Tiba-tiba tubuhnya terkulai
lemas jatuh ditempat tidurnya. Malihat itu mereka serentak memegangi Bu Munah.
Sekali lagi Bu Munah memberontak dan kini mengeluarkan suara menyeringai
menyerupai kuntilanak. “Hi…hi….hi….!”
Secepat kilat orang misterius
itu memicit dengan keras jempol kaki Bu Munah dan berkata: “Keluar. Ayo segera
keluar dan jangan datang lagi!” Bentaknya. Tubuh Bu Munah memberontak. Semakin
tubuh Bu Munah memberontak semakin kuat jempol kakinya dipicit orang mistirius
itu sambil membentaknya “Keluar!” Akhirnya tubuh Bu Munah melemas dan beliau
tertidur tak sadarkan diri.
Sejak kejadian itu, Bu Munah memakai
tangkal untuk menjaga dirinya dari gangguan roh jahat. Sebentuk buntelan hitam
kecil pemberian orang misterius itu, selalu dikancingkan di dalam baju Bu
Minah. Tidak tahu apa isi buntelan itu dan mereka tak pernah mau tahu apa
isinya. Yang jelas sejak kejadian malam itu Bu Munah selalu memakainya.
***
Pagi itu
kesibukan terjadi di rumah Pak Udin. Semua anggota keluarga bekerja
mempersiapkan acara aqiqahan Sultan Iskandar Muda. Hari itu, hari ke 21
kelahirannya.
Pernak-pernik sebuah acara aqiqahan terlihat semarak. Ayunan hias
telah terpampang diruang tengah, yang nantinya tempat Sultan diayunkan.
Kursi-kursi telah tersusun rapi dibawah tenda yang dipasang dihalaman rumah.
Hidangan aqiqah berupa sembelihan 2 ekor kambing, diatas mejapun telah mulai dipersiapkan.
Acara itu terlihat mewah walau dikemas secara sederhana.
Sultan Iskadar
Muda sudah berpakaian indah. Baju berwarna hijau dengan topi jambul berwarna
kuning. Wajahnya yang imut membuat semua orang gemes melihatnya. Namun
tiba-tiba Sultan menangis dengan kuat. Saking kuatnya, suaranya terdengar
sampai kerumah Bu Murni.
“Kenapa toh?,
kata Bu Murni sambil menggendong Sultan dan menimang-nimangnya.
“Enggak tahu, Bu.
Tiba-tiba saja dia menangis begitu kuat”
Kata Bu Munah, ”Tidak biasanya dia menangis begitu kuat” Tambah Bu Munah
sambil merapikan pakaiannya.
“Ya, sudah biar
saya diamkan” Jawab Bu Murni sambil menggendongnya keluar kamar. Perlahan-lahan
suara tangis Sultan pun mereda.
***
Para undangan
sudah mulai berdatangan. Pak Udin sibuk menyalami para undangan dan
mempersilahkan mereka masuk keruang utama dengan duduk bersila. Seperti tradisi
yang selalu dilakukan di desa Suka Sari, acara aqiqahan biasanya dimulai dengan
membaca tahlilan untuk menghormati dan berkirim doa kepada para arwah leluhur.
Selanjutnya diadakan ritual “tepung tawar” untuk mendapat keberkahan dan
keselamatan bagi anak yang baru lahir serta seluruh anggota keluarga. Walaupun
acara tepung tawar berasal dari suku melayu, namun telah mentradisi untuk semua
warga desa Suka Sari.
Jam dinding sudah
menunjukkan pukul 09.00 pagi. Sudah saatnyalah acara dimulai. Pak Udin memberi
isyarat kepada Arman-seorang pemuda yang ditunjuknya untuk mengemas acara
dengan baik.
“Adapun urutan
acara kita sebagaimana biasa dalam acara aqiqahan di kampung kita ini adalah
sebagai berikut”. Ucap Arman lantang saat mengemas acara,”Yang pertama adalah
kata-kata hajatan dari tuan rumah, yaitu oleh Pak Udin. Selanjutnya tahtim
tahlil. Kemudian dilanjutkan dengan “ngayun anak” yang dibarengi dengan
marhaban dan tepung tawar. Adapun sesudah itu sebagai acara ke 4 adalah
penabalan nama oleh Atuknya dari Kisaran yang sampai saat ini belum sampai.
Mudah-mudahan disaat acara berjalan, Atuknya
Sultan sudah hadir diantara kita nantinya. Baiklah mari kita dengar
uraian hajatan dari tuan rumah, yaitu Pak Udin”. Arman mengakhiri ucapannya
sambil menyerahkan mic kepada Pak Udin.
Sementara
bapak-bapak menggelar acara tahlilan diruang tengah. Para ibu sibuk didapur
mempersiapkan perlengkapan tepung tawar.
Tepung tawar adalah tradisi masyarakat melayu. Acara ritual ini
biasa dilakukan dengan berbagai alasan; karena mendapatkan kebahagiaan, seperti
lulus dari ujian, sembuh dari penyakit, selamat/sembuh dari kecelakaan, acara
perkawinan. Termasuk juga kelahiran anak
atau aqiqahan dan acara pemberangkatan/kepulangan hajipun saat ini dilakukan
tepung tawar.
Kelengkapan ramuan penabur
yang tardiri dari semangkok beras putih, semangkok beras kuning,semangkok bertih
telah selesai dipersiapkan. Rajangan bunga rampai sudah hampir selesai
dikerjakan.
memberikan kata-kata pembukaan sebagai hajatnya dalam mengundang
sanak family dan para tetangga. “Kami berharap agar sudilah bapak-bapak
membacakan tahtim, tahlil, sebagaimana sudah mentradisi bagi kita umat Islam
JIMAT BAYI.
Disamping itu sebuah botol berisi air diikatkan di atas pintu tengah
untuk menjaga rumah dari gangguan roh jahat.
1.
Kunjungan orang mistirius
2.
Jimat orang bersalin.
3.
Jimat anak-anak.
4.
Acara aqiqahan
5.
Kedatangan Atok dari Kampung
6.
Hanafi aziz.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar